RUU TNI Jadi Ancaman Demokrasi. (Foto: suara com)

PC PMII TUBAN - Pemerintah bersama DPR RI kembali membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Rapat tersebut secara diam-diam dilaksanakan di hotel Fairmont, Jakarta Pusat.

Pembahasan RUU tersebut terlalu tergesa-gesa padahal belum begitu urgent untuk disahkan. Sebenernya ada RUU seharusnya lebih mendesak untuk dibahas yaitu prihal perampasan aset.

Pembahasan RUU TNI 2025 memicu pro dan kontra. Karena memuat substansi bermasalah bisa memperluas kewenangan TNI tanpa pengawasan yang ketat, sehingga bisa menyebabkan lemahnya prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

RUU TNI berpotensi melahirkan kembali praktik dwifungsi ABRI. Salah satunya melalui rencana perluasan jabatan dan fungsi sosial politik yang dapat ditempati oleh militer. Sebelumnya, terdapat 10 kementerian dan lembaga strategis yang jabatannya dapat diduduki oleh TNI, namun kini diusulkan menjadi 16 lembaga. Perluasan jabatan dan penempatan TNI pada jabatan-jabatan sipil sangat berbahaya karena hanya akan mengurangi profesionalisme TNI dalam menjalankan tugas pertahanan dan keamanan negara yang merupakan fungsi utamanya.

Dalam perspektif hukum tata negara, revisi UU TNI harus tetap berlandaskan pada konstitusi, supremasi sipil, sistem checks and balances, serta penghormatan terhadap HAM. Revisi dilakukan untuk memperluas peran TNI secara berlebihan dalam kehidupan sipil, sehingga akan memunculkan risiko kembalinya dominasi militer dalam politik dan berkurangnya pengawasan terhadap institusi pertahanan.

Kembalinya hegemoni militer yang mau tidak mau wajib kita jaga karena proses agenda reformasi yang mengembalikan posisi TNI sebagai garda depan pertahanan dan keamanan bukan menjadi bagian dari cerita lama akan kembalinya TNI ke peran gandanya yaitu sosial politik.

TNI boleh masuk ke lembaga sipil asal sudah mundur atau pensiun karena ketika mundur atau pensiun, mereka kembali menjadi rakyat sipil, ketika tentara aktif maka akan sangat jelas melanggar TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang jelas menegaskan netralitas TNI dalam politik dan menolak keterlibatan TNI aktif dalam pemerintahan sipil.

Sejarah mencatat bahwa dwifungsi ABRI tidak memberikan dampak yang positif pada kelompok sipil. Sepanjang 32 tahun, aktifnya dwifungsi ABRI seringkali bertindak represif terhadap oposisi dan kelompok sipil. Masyarakat Indonesia harus membayar mahal untuk menghentikan dwifungsi ABRI dan menikmati demokrasi seperti hari ini melalui berbagai tragedi kemanusiaan pada Reformasi 1998. Maka, mengembalikan TNI ke barak menjadi sebuah kewajiban. 

Pemerintah dan DPR RI harusnya tidak main-main dalam hal revisi UU TNI, semua harus menghitung baik dan buruknya untuk kemaslahatan negara ini, bukan karena kepentingan jangka pendek akhirnya malah merusak proses demokrasi. Para pembuat kebijakan juga harus membuka ruang selebar-lebarnya peran partisipasi masyarakat sipil yang substansial dalam revisi UU TNI ini, bukan malah memberikan ruang untuk datangnya otoritarian baru dengan revisi UU TNI.

Untuk itu sudah saatnya koalisi sipil kembali menyatukan langkah dengan tegas menolak kembalinya Dwi Fungsi TNI ini, revisi UU TNI ini melupakan sinyal yang harus diwaspadai bersama untuk mendesak DPR menghentikan seluruh proses pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak partisipatif dan DPR mengakomodir seluruh aspirasi dan tuntutan publik yang menolak sejumlah substansi di dalam RUU TNI terkait potensi kembalinya “Dwifungsi ABRI”.


Oleh : A. Wafa Amrillah (Ketua Cabang PMII Tuban)